Selasa, 27 Januari 2009

Sebambangan (Kawin Lari)

Siang itu selepas sholat duhur pada hari pertama idul fitri, seperti tahun – tahun sebelumnya kami merayakan pesta sakura1 dengan muli-meghanai2. Aku yang setahun sekali pulang kampung, selalu ikut merayakan pesta ini. Sepertinya tak mau ketinggalan momen indah dimana aku akan bertemu para muda-mudi dari beberapa tiyuh3. Disinilah pertemuanku dengan seorang gadis yang membuatku kelimpungan sepanjang malam. Fauzia begitu lembut suaranya ketika kami berkenalan.

Aku seorang mahasiswa semester akhir Universitas Lampung yang sampai saat ini masih berkutat dengan skripsi, hanya bisa tersenyum ketika menerawang langit-langit kamar. Beginilah, ketika aku jenuh melototi tumpukan buku dan monitor komputer. Ya, sekali lagi senyum fauzia melintas, begitu anggun. Masih tergambar jelas ketika kerudung putih yang dikenakannya melambai tertiup angin. Sungguh gadis cantik solehah yang ideal, pikirku. “fauzia, betapa sempurna anugerah tuhan yang tercurah kepadamu”, gumanku.

Aku harus segera lulus, pikirku. Betapa tidak, sebentar lagi adikku akan segera kuliah. Beban ekonomi yang semakin berat memaksa aku berjuang ekstra keras. Sejak kebangkrutan usaha ayah tiga tahun lalu, terpaksa aku hidupi diriku sendiri dengan bekerja serabutan paruh waktu. Beruntung beasiswa yang kuajukan mencukupi untuk bayaran kuliah.

Kini ayah terlihat semakin kurus dan hitam, setengah hektar kebun kopi peninggalan kakek dirawatnya dengan baik, itulah satu-satunya sumber penghidupan ayah selain narik ojek. Dulu kami tinggal di Jakarta. Tragis memang, kebakaran yang melumat toko bangunan ayah hanya menyisakan puing-puing hitam dan asap tebal. Ibu sempat jatuh pingsan ketika melihat ruko kami rata dengan tanah. Peristiwa itu terjadi ketika kami liburan ke Dufan, hanya sebuah mobil sedan corolla usanglah harta kami yang tersisa. Sejak itu ibu sering sakit-sakitan sehingga ayah memutuskan untuk pindah dikampung halaman ibuku di Bukit Kemuning.

Akhirnya perjuangan selama empat tahun menuai hasil, gelar Sarjana Pendidikan melekat diakhir namaku. Hingga kini kuabdikan diri di sebuah sekolah menengah atas di kampung halaman ibu. Bukit Kemuning, disinilah kulibas kehidupan dengan mencerdaskan anak-anak.

Fauzia, masih seperti dulu keanggunanya menyihirku untuk terus menerawang langit-langit kamar. Betapa tidak, selain cantik dan pintar, dia adalah seorang guru ngaji di tiyuh ini. Banyak sekali meghanai yang jatuh hati padanya. Namun keinginan para bujang untuk meminang gadis ini pupus, bak embun dilalap mentari. Sebagai anak gadis pemangku adat, fauzia harus mampu mempertahankan adat yang terwaris turun temurun. Sehingga dalam memilih pendamping hidup pun tidak boleh melangkahi adat, begitu tutur ayahku.

“Nak, jangan pernah bermimpi untuk mendapatkannya” pinta ayah. Sedih memang, ketika cinta yang bersemi dihati bersentuhan dengan adat. Mungkin benar nasehat ayah, gadis seperti dia tak layak bersanding denganku. Keluargaku tak akan mampu memenuhi permintaan Ayahnya, gadis pemangku adat seperti dia pastinya akan melakukan begawi adat4 dalam upacara pernikahannya. Terbayang olehku, berapa puluh bahkan mungkin seratus juta lebih biaya begawi itu. Ya, gadis lampung akan sangat “berharga” jika dinikahi secara adat. Selain itu tak satupun gelar adat melekat dikeluargaku.

Puih, mengapa harus jatuh hati dengan seorang gadis seperti fauzia. Mengapa dia dilahirkan dalam lingkaran adat yang kuat. Mengapa pula dia seorang keturunan pemangku adat yang bahkan bupatipun akan setia mendengar petuah adat kakeknya. Bergejolak otakku, terasa semakin panas ketika kubenturkan gelombang rasa ini dengan realita yang ada.

Sore itu kuberanikan diri untuk bertemu dengannya selepas sholat asar di masjid agung dekat rumahnya, seperti biasa dia mengajar ngaji anak-anak. Kesederhanaan mengisyaratkan keteguhan pribadi yang kuat, walaupun ayahnya pemangku adat namun kehidupan ekonominya juga tidak begitu baik. Kutunggu hingga selesai….

“assalamualaikum, fauzia. Apa kabar?” ucapku dengan nada bergetar.
“waalaikum salam, alhamdulillah baik. Tumben sholat disini” balasnya dengan senyum simpul. Masya allah, terasa darah ini mengalir lebih cepat. Sepertinya mau pecah saja pembuluh darah ini. Sesaat ku terdiam tenangkan diri. Aku tak tahu mengapa ini selalu terjadi, padahal sudah berulang kali kami bertemu bahkan cinta ini pun telah tumbuh subur. Namun tetap saja kejadian seperti ini terulang lagi

“ Fauzia, to the point aja. Mengenai hubungan kita, sudah waktunya aku berterus terang padamu. Bahwa aku ingin hubungan ini kita kuatkan lagi”, deras bibirku mengalirkan kalimat ini. Tak kusangka akhirnya lepas juga kalimat ini setelah kupendam dalam bilik-bilik karma hati.

“ Kak Adri, aku mengerti maksudmu. Aku juga ingin pernikahan adalah akhir dari semua ini. Aku ingin mereguk indahnya cinta dengan ridho Allah”, jawabnya dengan tenang seakan tiada sedikitpun gugup menyertainya.

“Pastinya kau juga paham, keberanian dan keadaanku tak mungkin sanggup menembus lingkaranmu” balasku pelan.

“Aku yakin Allah akan beri jalan bagi hambanya yang ingin menggapai ridhonya” pelan namun sanggup menjebol gunung keraguan yang menumpuk difikiranku.

Sejak itulah, aku berfikir semakin keras mencari jalan keluar demi niat suci kami. Sempat kuberanikan diri temui orang tuanya, kuutarakan segenap maksud hati. Namun cacian dan cemoohan yang kuterima. Akupun semakin gila, ketika kudengar fauzia dilarang keluar rumah, hingga datang seseorang yang cocok dan sepadan untuk menikahinya.

Dalam kekalutanku terlintas untuk sebambangan5 (kawin lari) saja. Ya, kenapa tidak, pikirku. Tapi apakah fauzia mau? Bukankan dia wanita yang mengerti agama. Pastinya restu orang tua baginya sangat penting. Aku tak yakin ini berhasil….
*******
Tubuhku kini sedikit kurus, lengan tanganku semakin berotot. Kini aku bekerja disekolah didaerah pedalaman Jambi, sebagai pegawai pegawai negeri sipil. Aku mencoba mencari penghasilan lain, dengan menggarap dua hektar tanah yang kubeli dari gaji yang kusimpan setelah beberapa tahun. Dengan inilah kuhidupi fauzia dan anakku shalahuddin yang kini berumur empat tahun.

Ya, akhirnya kami sebambangan setelah fauzia meninggalkan surat yang menjelaskan dengan siapa pergi, kemana tujuan serta sedikit uang dibawah bantal. Setelah dua hari ayah dan pamanku berangkat kerumah Fauzia untuk ngantak pengundoran senjata6 (pengakuan salah) dengan membawa senjata tajam yang dibungkus kain putih dan uang kontan 58 riyal. Kamipun dinikahkan oleh kepala kampung dengan wali hakim. Karena ayah fauzia bersumpah serapah mengharamkam kakiku menginjak rumahnya, karena permintaan mahar dan biaya begawi adat yang tidak bisa dipenuhi. Tragis memang, tapi tekad kami sudah bulat, cinta ini harus segera dimurnikan demi menjaga fitnah.

Dalam hati, kutancapkan niat bahwa nanti aku pasti pulang dengan membawa keberhasilanku. Akan kutunjukkan ke pemangku adat bahwa fauzia akan menjadi wanita terhormat, tanpa harus bergelar adat. Akan kutunjukkan bahwa cucunya nanti akan menjadi pemimpin umat yang cerdas yang tidak hanya memimpin adat. Kami bahagia walau harus memendam rasa bersalah. Ayah, ibu maafkan kami karena memilih cara ini untuk memurnikan cinta, karena kami menginginkan cinta dan cahaya surga dalam kehidupan ini……….

1. Pesta sakura : pesta adat ini sering dilaksanakan untuk merayakan hari raya idul
fitri, sebagai sarana hiburan acara ini juga sebagai ajang mencari jodoh untuk
para muda-mudi. Pesta sakura ini dipusatkan dikenali (±20 km dari liwa)
2.Muli-meghanai: sebutan untuk bujang gadis adat lampung
3.Tiyuh : kampung halaman, pekon, desa atau sejenisnya.
4.Begawi adat : Pesta adat. Pesta adat ini biasanya harus melampaui semua jenis
seremoni adat, mengundang para keluarga adat di berbagai pelosok daerah. Pesta
adat ini memakan banyak waktu dan biaya.
5.Sebambangan: tradisi kawin lari muda-mudi di Lampung. Inilah kearifan lokal
Lampung bagi muda-mudi yang ingin menikah tetapi tidak punya biaya untuk melakukan
gawi adat. Namun, kearifan lokal ini sering disalahgunakan untuk memaksa para gadis
menikah dengan laki-laki, meskipun mereka tidak saling mengenali. Sebambangan
terjadi jika ada kesepakatan awal antara perempuan dan laki-laki. Kemudian,
perempuan meninggalkan pertinggal (pemberitahuan) biasanya sepucuk surat dan
sedikit uang. Ada anggapan di masyarakat adat Lampung bahwa perempuan yang sudah
diajak sebambangan dan sempat menginap di rumah laki-laki, sudah sah menjadi istri
laki-laki itu. Jika perkawinan mereka dibatalkan,si gadis berarti sudah janda.
6.Ngantak pengundoran senjata : pengakuan salah, biasanya membawa senjata tajam yang
dibungkus kain putih dan uang kontan 58 riyal atau setara dengan (Rp116.000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar