Selasa, 27 Januari 2009

Dialah Suamiku

Kulihat masih mengalir air mata ini dipipiku, rasanya tak sangggup untuk membendung seluruh perasaan ini. Semua terjadi begitu cepat, setelah sembilan tahun lamanya kupelihara rasa cinta ini, tiga jam yang lalu semua telah musnah. Semua harapan yang kubangun hancur hanya dengan sebuah kata “putus”. Oh, tuhan mengapa inginku kini kandas hanya karena aku yang tak mau menjadi apa yang dia mau.

Apakah cintaku dan ketulusanku padanya telah dia lupakan. Apakah semua pengorbananku dan kesetiaanku padanya dia ragukan. Rasanya sangat tak adil jika semua terjadi padaku, apakah sanggup kujalani hidup ini tanpa dia. Ya Allah, tolonglah aku berikanlah petunjukMu padaku, aku sangat mencintainya.


Angin pun berdesir lembut menambah suasaku semakin haru, akhirnya lelap pun menyapa hingga menenggelamkanku dalam mimpi. Ya, mimpi yang sangat indah seolah peristiwa yang terjadi tiga jam yang lalu sirna tanpa berbekas sedikitpun.

Sebuah gaun indah melekat dibadanku, sebuah kerudung terjulur dari kepalaku. Sebuah pesta taman sederhaku berlangsung dihalaman rumahku. Aku bingung, sebuah nuansa yang sangat berbeda. Mungkinkah aku di surga, aku masih termenung menatap wajahku disebuah cermin bulat didepanku dengan bingkai ukiran yang tersusun apik.
Kuintip dari jendela kulihat semua berpakaian rapi layaknya suasaku pengajian. Wanita-wanita memakai busana muslim dan lelaki memaki gamis terlihat sangat sempurna. Kiranya aku benar-benar disurga. Tapi, untuk apakah gaun pengantin yang kukenakan ini, dengan siapakah aku akan menikah? Bukankah baru beberapa jam tadi dia memutuskan aku? Berjuta pertanyaan mengembang di kepalaku.

“Rahmah…, ayo keluar”, sebuah suara yang mirip ibuku memanggil.
“ I..iya”, Aku menjawab dengan terbata-bata.
“ Acara sebentar lagi mulai”, tambah suara itu yang ternyata memang suara ibuku.
Akupun semakin gugup, debar jantungku semakin cepat. Aku tidak mungkin menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Ku hanya mau menikah dengannya, tapi mungkinkah itu dia. Nafaskupun tersengal-sengal, sesaat kemudian yang terlihat hanyalah gelap, gelap dan gelap….Suasaku hening sesaat, sangat tenang. Bahkan desir anginpun tak mampu menghela kain tipis yang tergantung di jendela. Seolah tiada kehidupan yang tampak, sebenarnya apa yang terjadi

Tersentak setelah Vicky melekatkan badannya dimukaku. Vicky memang punya bulu yang lembut, dialah kucing putih berbulu tebal yang kerap kali menemaniku setiap kali aku tidur. Kubuka kedua mataku yang sayu akibat terlalu banyak menangis. Teringat kembali kejadian itu, akupun kembali menangis dan menangis lagi…..

Kucoba tenangkan diri kulemparkan bantal guling dan beranjak dari ranjang kemudian bergegas mengambil air wudhu dengan sisa-sisa perasaanku kubasuh seluruh mukaku. Kuingin mengadu kepada Allah atas semua yang terjadi hari ini. Aku ingin Allah mengembalikan waktu agar aku dapat memperbaiki atas semua yang terjadi. Mungkinkah memang aku yang salah, yang selalu egois tanpa mengerti apa yang dia mau. Ataukah memang dia punya alasan lain, mengapa dia begitu tega meninggalkanku.

Akupun bersujud setelah selesai sholat istokharah, dalam sujudku kutumpahkan semua yang ada. Dalam pengaduanku kubenamkan seluruh kesedihan ini dalam tangis dan doa.
Semua rasa bercampur seiring berhamburannya air mata, hal ini semakin membuktikan betapa aku sangat lemah. Betapa aku sangat butuh engkau ya Allah. Disaat orang yang kucintai meninggalkanku, Engkau begitu setia mendegarkanku. Dan ternyata memang hanya Engkau yang selalu mengerti aku.

Kutengadahkan wajahku setelah ketenangan kugapai, dengan khusuk akupun berdoa. Memohon agar aku diberi kejelasan dan hikmah dari peristiwa berat yang kualami. Perlahan kuraih Al-Qur’an kubaca ayat demi ayat. Kudapatkan ketenangan yang teramat sangat ketika lantunan ayat-ayat ini meluncur dari lisanku. Sampai pada sebuah surat An Nisa akupun tertegun sejenak. Ku ulangi lagi ayat ini, berkali-kali. Kupahami maknanya dalam-dalam, kurenungkan beberapa saat.

Kini mataku melirik secarik surat tang tergeletak yang sedikit basah. Kubaca kembali isi surat itu, kutatap tajam-tajam kucoba mengerti apa maksud isinya. Ya, akupun masih belum mengerti kenapa keputusannya begitu bulat untuk berpisah denganku. Ini mungkin akan menjadi surat terahir yang akan aku terima dari dia. Kini kembali isi surat itu perlahan lahan……

Dear Ukhti
Bismillahrohmannirrohiim…………
Kiranya keputusanku untuk mengahiri hubungan ini begitu menyakitkamu mungkin ini akan sangat sulit bagimu untuk menerima. Untuk itu maafkan Aku, semua ini Aku lakukan bukan karena Aku mempunyai wanita lain, demi Allah tidak. Dan sesungguhnya Aku sangat mencintaimu, jika ada didunia ini wanita yang paling Aku cintai itu adalah kamu. Tapi, Aku juga tidak memungkiri bahwa Aku pun takut kepada Sang pembuat cinta, ternyata dialah yang lebih mencintai Aku dari semua yang ada. Dialah yang telah mencintai Aku dari detik ke detik, akhirnya Aku putuskan untuk mencintaiNya terlebih dahulu.

Ukhti, Allah menginginkan Aku untuk mengahiri hubungan ini karena Allah sayang dengan kita. Dia ingin kesucian cinta kita terjaga dari nafsu. Allah menginginkan cinta kita bersatu dalam sebuah ikatan suci yang penuh dengan kasih sayang dan tanggung jawab. Dia ingin cinta kita diberkahinya baik di dunia dan akhirat.
Ukhti, jika memang kamu mencintai Aku. Ikhlaskanlah hubungan ini berahir, cintailah Allah melebihi cintamu kepada Aku. Turutilah semua aturan Allah, dengan ikhlas dan sabar. Insya Allah jika memang kita berjodoh Allah pasti mempersatukan kita. Amin….


Sebegitu besarkah cintanya pada Allah? Apakah ini hanya alasan untuk berpisah denganku? Ataukah Dia hanya ingin melepaskanku secara perlahan? Benarkah Allah menginginkan kesucian cinta itu dengan tidak pacaran? Lalu apakah menikah mampu mengembalikan dia padaku? Tapi kapan dia akan datang untuk meminangku? Terus benarkah tolok ukur cintanya padaku adalah ketika aku taat pada seluruh aturan Allah? Sampai saat ini aku belum mengerti…..

Sebulan berlalu, masih seperti ketika dia memutuskanku, aku masih sering menangis, aku masih sering teringat seraut wajahnya. Bahkan aku masih ingat dengan jelas setiap senyumnya. Ya Allah berat sekali rasanya hidup ini tanpa dia. Sungguh aku hanya mau dia, semua yang aku inginkan ada padanya. Tutur lembut katanya, sopan santunnya sungguh akhlak yang sangat mulia.

Seiring berjalannya waktu akupun mulai belajar, dengan rasa penasaranku yang mendalam kugali pengetahuan tentang Islam melalui seminar-seminar, kajian demi kajian, bahkan konsultasi dan diskusi keislaman pun kulahap dengan rakus. Wanita seperti apakah yang sangat didambakan oleh seorang lelaki soleh? Pertanyaan inilah yang mendorong diriku untuk tetap larut dalam indahnya menemukan islam.
Akhirnya kuberanikan diri untuk menulis beberapa baris kata. Mungkin inilah saatnya kutunjukkan apadanya bahwa aku telah berubah, bahwa ku mulai memahami tentang keinginannya. Semoga saja ini mampu menentramkan kegalauan yang mengahantuiku. Ya Allah tuntunlah penaku, kuingin dia tahu………

Dear akhi…..
Bissmillahirrohmaniirohin……
Tak terasa dua tahun sudah kita tak pernah bertemu, insya allah telah banyak perubahan yang terjadi pada diriku. Setelah waktu itu kutakumkan janji dalam diri bahwa aku akan berubah menjadi apa yang kau mau. Lebih tepatnya menjadi seorang wanita solehah yang taat kepada aturan Allah. Sampai detik ini kesempurnaan untuk menjadi “aisyah” memanglah sangat jauh. Akan tetapi keseungguhanku ini mudah-mudahan dapat engkau fahami.

Jujur sampai detik inipun aku tak mampu melupakanmu, kerinduan ini semakin mencengkeram hatiku, bahkan teramat menyiksa ketika kuingat kamu. Akhirnya kuberanikan diri menghubungimu, tentunya berbekal rasa cinta yang sampai saat ini masih tersimpan rapi di hatiku.

Akhi, aku ingin kau temui orang tuaku sesegera mungkin. Karena aku sungguh yakin bahwa engkau mampu menjadi imamku. Aku tak ingin orang lain mendahuluimu untuk meminangku. Karena memang selama ini hanya engkau yang aku harapkan. Karena aku sungguh mencintaimu….

Beberapa hari yang lalu, kudengar orang tuaku ingin mencarikanku jodoh. Akhi, kumohon datanglah, jadikan aku sebagi “aisyah” mu. Jika memang engkau sayang padaku, jika engkau memang cinta padaku. Insya allah kini aku telah siap menjadi apa yang kau mau.

Aku menunggumu dengan air mata dan doa. Semoga Allah meringankan langkahmu. Amin…..


Hampir sebulan kunanti balasan darinya, setengah menangis kududuk didepan cermin. Ada apa dengannya apakah dia melupakanku. Mengapa membalas suratpun tidak, apa sih beratnya menulis surat. Air matapun mengalir membanjiri kesedihan hatiku. Dalam keputusasaanku kembali ku berwudhu kemudian bersujud memohon pada Allah agar diberi kemudahan menerima segala sesuatu yang terjadi nantinya.

Dalam sujudku kucurahkan semua permohonanku. Ya Allah kirimkanlah dia untukku, jadikanlah dia imamku. Dengan ridhomu berikanlah yang terbaik untukku. Ya Allah kalaupun memang dia bukan jodohku, segera kirimkanlah seseorang yang mampu memikat hatiku, agar aku mampu melupakannya. Agar aku mampu menyingkirkan segala kerinduan ini, dan kumohon alihkan dan hapuskan cinta ini darinya jika memang itu kehendakmu. Namun, dengan segala kerendahanku wahai Tuhan segenap cintaku untuk saat ini hanya menginginkan dia….kumohon perjelaslah petunjukkmu ya Allah.

Tiga hari kemudian seperti halnya hari-hari yang lain aku masih sering menangis. Sambil terus membaca tulisan dua tahun yang lalu ketika dia memutuskanku. Sayup-sayup kudengar suara gaduh diteras rumah. Sepertinya ada tamu yang datang, seperti biasa ibuku mempersilahkan para tamu masuk, hatiku semakin berdebar tiap kali ada tamu yang berkunjung. Dengan penuh harap kuselalu berharap dia yang datang, namun seperti biasa pula harapan itu sirna kembali.

Namun kali ini suara itu semakin gaduh sepertinya banyak sekali yang datang. Hatikupun semakin keras berdetak, tak biasanya ada tamu seramai ini. Apakah dia, atauakah dia, mungkingkah dia, semoga saja dia. Ingin rasanya kuintip lewat celah pintu kamarku, namun kaki ini terasa sangat berat. Penasaranku semakin menjadi-jadi, ketika derap langkah semakin mendekat kearah pintu kamarku. Semakin dekat semakin jantungku berdegup kencang, kemudian….

“tok, tok, tok” pintu kamarku diketuk. Darahku mengalir semakin kencang, sepertinya mau pecah saja pembuluh darahku. Dengan nafas tersenggal-senggal ku jawab ketokan itu dengan suara bergetar.
“iya, sebentar” jawabku dengan nafas menderu…
“Sayang, cepat keluar. Ayah, Ibu sudah datang. Ada paman dan bibi juga tu.” Lamunanku pun buyar seiring terhempas suara yang sangat ku kenal itu. Ya, suara itulah yang sanggup menjadikan hidupku menjadi lebih berawarna. Suara itulah menjadikan aku seorang wanita sesungguhnya. Dialah suamiku Syaiful yang selama ini membimbingku, yang beberapa tahun yang lalu memutuskanku untuk menikahiku dengan menjaga kesucian cinta karena Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar