Minggu, 08 Februari 2009

Telaah Kitab Demokrasi Sistem Kufur Karya Syekh Abdul Qadim Zallum

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi*

Pendahuluan

“Memilih pemimpin yang baik hukumnya wajib, maka golput haram,” demikian salah satu butir fatwa MUI hasil Ijtima’ Ulama 24 - 26 Januari 2009 di Padang Panjang, Sumatera Utara. Fatwa tersebut sebenarnya mempunyai satu kelemahan mendasar, yaitu mengabaikan sistem demokrasi yang ada. Sangat disayangkan. Mestinya dikaji dulu, apakah sistem demokrasi itu sesuai Islam atau justru bertolak belakang dengan Islam?


Menurut Hizbut Tahrir, demokrasi adalah sistem kufur, sehingga implikasinya adalah haram hukumnya mengadopsi, menerapkan, dan mempropagandakannya. Pada tahun 1990, Hizbut Tahrir mengeluarkan kitab karya Syekh Abdul Qadim Zallum berjudul Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr : Yahrumu Akhdzuha aw Tathbiquha aw Ad-Da’watu Ilaiha. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Demokrasi Sistem Kufur : Haram Mengambilnya, Menerapkannya, dan Mempropagandakannya (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 1994, cet I).

Telaah kitab kali ini bertujuan untuk menggambarkan isi buku tersebut, yang selanjutnya judulnya disingkat DSK (Demokrasi Sistem Kufur ). Seperti telah disebut, buku ini adalah karya Syekh Abdul Qadim Zallum (w. 2003). Beliau adalah ulama mujtahid yang faqih fid din yang pernah menjadi Amir (pemimpin) Hizbut Tahrir antara tahun 1977-2003.

Buku Yang Langka

Buku DSK karya Syekh Abdul Qadim Zallum tersebut sebenarnya bukan satu-satunya buku yang mengkritik demokrasi secara telak dan mendasar. Banyak buku lain yang juga menolak konsep demokrasi, misalnya :

1. Al-Hamlah Al-Amirikiyyah Li Al-Qadha` ‘Ala Al-Islam, Bab Ad Dimuqrathiyyah (Serangan Amerika Untuk Menghancurkan Islam, bab Demokrasi), dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir tahun 1996;

2. Afkar Siyasiyah (Bab An-Niham ad-Dimuqrathiy Nizham Kufur min Wadh’i al-Basyar, h.135-140), dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir tahun 1994;

3. Ad-Damghah Al-Qawiyyah li Nasfi Aqidah Ad-Dimuqrathiyyah (Menghancurkan Demokrasi), karya Syekh Ali Belhaj (tokoh FIS Aljazair);

4. Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Juz I (Bab Asy-Syura h. 246-261) karya Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir);

5. Qawaid Nizham Al-Hukmi fi Al- Islam (Bab Naqdh Ad-Dimuqrathiyyah, h. 38-95) karya Mahmud Al-Khalidi (ulama Hizbut Tahrir);

6. Ad-Dimuqratiyyah fi Dhaw’i as-Syari’ah al-Islamiyyah (Demokrasi dalam Sorotan Syariah Islam), karya Mahmud Al- Khalidi;

7. Ad-Dimuqratiyyah wa Hukmul Islam fiiha, karya Hafizh Shalih (ulama Hizbut Tahrir);

8. Ad-Da’wah Ila Al-Islam (Bab Ad-Dimuqrathiyah Laisat Asy-Syura, h. 237-239) karya Ahmad Al-Mahmud (ulama Hizbut Tahrir);

9. Syura Bukan Demokrasi (Fiqh asy-Syura wa al-Istisyarat), karya Dr. Taufik Syawi, terbitan GIP Jakarta, tahun 1997;.

10. Naqdh al-Judzur Al-Fikriyah li Ad-Dimuqrathiyah Al-Gharbiyah, karya Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti (ulama Hizbut Tahrir) (2002);

11. Haqiqah Ad-Dimuqrathiyah, karya Syaikh Muhammad Syakir Asy-Syarif (1411 H);

12. Ad-Dimuqrathiyah wa Akhowatuha, karya Abu Saif Al-Iraqi (1427 H);

13.Ad-Dimuqrathiyah Diin (Agama Demokrasi), karya Syekh Abu Muhammad Al-Maqdisi, terbitan Kafayeh Klaten, 2008 (cet II).

Bahkan Syekh Abdul Qadim Zallum sendiri sebenarnya telah mengkritik demokrasi secara ringkas dalam kitabnya yang lain, yakni Kaifa Hudimat Al Khilafah (Bab Munaqadhat Ad-Dimuqrathiyah li Al-Islam, h. 59-79).

Namun demikian, buku semacam DSK ini tetaplah terhitung jarang jika dibandingkan dengan buku-buku yang mempropagandakan demokrasi, yang jumlah bejibun nyaris tak terhitung lagi, baik yang memang ditulis kaum kafir maupun yang ditulis oleh intelektual muslim yang salah paham terhadap demokrasi. Lihat saja misalnya, buku berjudul Fiqih Daulah karya Yusuf Al-Qaradhawi. Berkaitan dengan demokrasi, Al-Qaradhawi menyatakan “keprihatinannya” tatkala suatu saat dia bertemu dengan seorang pemuda Yordania yang menyatakan bahwa demokrasi adalah sebuah sistem yang kufur. Padahal, menurut Al Qaradhawi, demokrasi tidak bertentangan dengan Islam sebab inti demokrasi adalah bahwa hak memilih penguasa ada di tangan rakyat. Dan hak semacam ini, katanya, ada dalam Islam.

Tak ayal lagi, pendapat Al Qaradhawi ini –yang sebenarnya tidak tepat itu— disambut hangat dan meriah oleh sebagian kaum muslimin yang tengah mencari-cari justifikasi untuk terlibat dalam sistem demokrasi.

Di tengah banjirnya propaganda demokrasi yang tak kenal henti inilah, kehadiran buku DSK nampak menggugah dan menantang. Menggugah, karena kehadirannya mengingatkan kita bahwa di saat umat tenggelam dalam kegilaan dan kemabukan terhadap demokrasi ternyata masih saja ada ulama-ulama pelita umat yang jujur dan ikhlas membimbing umat serta menyampaikan nasihat dan peringatan kepada mereka. Dan dikatakan menantang, karena buku DSK tidak memposisikan diri secara defensif dan apologis sebagai pihak yang diserang. Sebaliknya, DSK mengambil posisi ofensif yang tidak tanggung-tanggung tanpa kenal kompromi. Ungkapan “Demokrasi Sistem Kufur” adalah deklarasi yang menantang, heroik, berani, tanpa tedeng aling-aling, dan tanpa basa-basi. Dalam ungkapan ini terkandung daya tantangan yang dahsyat, yang sungguh akan terlihat kontras bila dibandingkan dengan ungkapan para intelektual muslim yang menggembar-gemborkan demokrasi tanpa rasa malu sampai berbusa-busa mulutnya, atau ungkapan sebagian ulama yang memutar-mutar lidahnya hanya untuk memberi justifikasi palsu terhadap demokrasi.

Ringkas kata, buku DSK merupakan buku yang sangat layak dikaji oleh umat yang nasibnya terus terpuruk dan tak henti-hentinya dipermainkan oleh negara-negara Barat kafir yang katanya merupakan pionir-pionir demokrasi itu. DSK boleh dikatakan semacam obat mujarab yang dapat menyembuhkan umat yang tengah mengidap penyakit bingung dan sesat akibat upaya Barat –dan antek-anteknya dari kalangan penguasa dan intelektual muslim– yang tak kenal lelah menjajakan demokrasi yang kufur itu.

Gambaran Isi Buku

Mereka yang membaca DSK akan menemukan bahwa buku itu ditulis tanpa daftar isi, tanpa pembagian menjadi bab-bab, dan tanpa sub-sub judul. (Kitab aslinya yang berbahasa Arab juga tanpa daftar isi, tanpa bab-bab, dan tanpa anak judul). Sehingga, DSK terkesan “aneh”, tidak efektif, tidak sistematis, dan terasa janggal. Namun demikian, di balik kesan-kesan seperti itu, sebenarnya teknik penulisan DSK itu memang disengaja dan mempunyai maksud tertentu, yaitu ingin mengajak pembacanya untuk lebih mencurahkan konsentrasi dan daya pikirnya, sehingga pembaca akhirnya dapat menangkap substansi buku dan merangkai sendiri urutan dan sistematika berpikir penulis. Jadi, DSK memang bukan buku instan seperti fastfood yang cepat saji, melainkan buku yang betul-betul mengajak pembacanya untuk berpikir keras dalam memahami dan mencerna suatu ide. Kesan-kesan bahwa DSK tidak efektif, tidak sistematis, dan sebagainya –karena melulu berisi teks tanpa anak-anak judul– barangkali hanya akan dirasakan oleh mereka yang malas berpikir.

Dengan menelaah DSK secara cermat, setidaknya ada 5 (lima) ide pokok (pikiran utama) yang hendak disampaikan oleh penulisnya, yaitu :

Pertama, Deskripsi ringkas demokrasi,

Kedua, Praktek dan paradoks demokrasi,

Ketiga, Sebab dianutnya demokrasi oleh umat Islam ,

Keempat, Kaidah pengambilan ide dari umat dan bangsa lain,

Kelima, Kontradiksi demokrasi dengan Islam.

Ide pokok pertama, menjelaskan tentang demokrasi dari segi pengertiannya, sumbernya, latar belakangnya, aqidah yang melahirkannya, asas-asas yang melandasinya, serta hal-hal yang harus diwujudkannya agar rakyat dapat melaksanakan demokrasi.

Ide pokok kedua, menerangkan bagaimana demokrasi yang sebenarnya ide khayal itu dipraktekkan dalam kenyataan. Dijelaskan pula paradoks yang terjadi di negara-negara Barat dan negeri-negeri Islam dalam penerapan demokrasi.

Ide pokok ketiga, menerangkan 2 (dua) sebab utama mengapa umat mengambil demokrasi, yakni serangan pemikiran yang dilancarkan Barat, dan kelemahan pemahaman di kalangan kaum muslimin.

Ide pokok keempat, menerangkan tentang hal-hal yang boleh dan yang tidak boleh diambil kaum muslimin dari umat dan bangsa lain, serta tentang hal-hal yang haram diambil oleh kaum muslimin.

Ide pokok kelima, menerangkan pertentangan total antara demokrasi dengan Islam dari segi sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya, asas yang mendasarinya, serta ide dan peraturan yang dibawanya.

Berikut ini uraian lebih jauh untuk masing-masing ide pokok.

Ide I : Deskripsi Ringkas Demokrasi

Pada bagian awal DSK, Syekh Abdul Qadim Zallum berusaha menguraikan demokrasi secara ringkas. Satu hal yang beliau tekankan, bahwa demokrasi mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad Pertengahan, yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir pengaruh dan peran agama dalam kehidupan manusia. Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja terhadap masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti agama, dalam arti idenya tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah berdemokrasi. Orang beragama tertentu bisa saja berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil menjadi aturan main dalam berdemokrasi. Secara implisit, beliau mencoba mengingatkan mereka yang menerima demokrasi secara buta, tanpa menilik latar belakang dan situasi sejarah yang melingkupi kelahirannya.

Penjelasan ringkas ini meliputi 5 (lima) aspek utama yang berkaitan dengan demokrasi, yaitu :

a). Asal-usul demokrasi ,

b). Aqidah demokrasi,

c). Ide dasar demokrasi,

d). Standar demokrasi (yaitu mayoritas), dan

e). Kebebasan dalam demokrasi, sebagai prasyarat agar rakyat dapat mengekspresikan kehendak dan kedaulatannya tanpa paksaan dan tekanan.

Berdasarkan kelima aspek ini, penjelasan ringkas tentang demokrasi tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Demokrasi adalah buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT.

2 Demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan, yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara.

3. Demokrasi berlandaskan dua ide :

a. Kedaulatan di tangan rakyat.

b. Rakyat sebagai sumber kekuasaan.

4. Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan, serta pengambilan keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut diambil berdasarkan pendapat mayoritas.

5. Demokrasi menyatakan adanya empat macam kebebasan, yaitu :

a. Kebebasan beragama (freedom of religion)

b. Kebebasan berpendapat (fredom of speech)

c. Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership)

d. Kebebasan bertingkah laku (personal freedom)

Ide II : Praktik dan Paradoks Demokrasi

Demokrasi adalah ide khayal (utopia), tidak sesuai dengan realitas dan penuh dengan paradoks, dan telah melahirkan dampak-dampak yang sangat buruk dan mengerikan terhadap umat manusia. Inilah yang hendak diuraikan oleh buku DSK pada ide pokok keduanya.

Demokrasi dalam pengertiannya yang asli adalah ide khayal, sedang setelah dilakukan takwil padanya, tetap tidak sesuai dengan fakta yang ada. Misalnya ide bahwa pemerintahan adalah dari, oleh, dan untuk rakyat dan bahwa kepala negara dan anggota parlemen merupakan wakil dari kehendak rakyat dan mayoritas rakyat. Faktanya, tidak seperti itu. Mustahil seluruh rakyat menjalankan pemerintahan. Karena itu, penggagas demokrasi membuat sistem perwakilan, sehingga katanya, rakyat harus diwakili oleh wakil-wakilnya di parlemen. Benarkah para anggota parlemen betul-betul mewakili rakyat dan membawa aspirasi mereka? Benarkah kepala negara yang dipilih oleh parlemen juga menyuarakan hati nurani rakyatnya? Ah, ternyata tidak juga. Bohong itu semua. Di negara-negara kapitalis, seperti Amerika dan Inggris, anggota parlemen sebenarnya mewakili para kapitalis, bukan mewakili rakyat. Di Amerika, proses pencalonan dan pemilihan wakil rakyat selalu dibiayai oleh para kapitalis, demikian uraian Syekh Abdul Qadim Zallum.

Banyak data kuantitatif yang menguatkan pernyataan ini. Untuk proses pencalonan satu orang senator saja, dibutuhkan biaya US $ 43 juta dolar. (Lihat Andrew L. Shapiro, Amerika Nomor 1, h. 89). Seberapa besar uang senilai US $ 43 juta dolar itu? Bayangkan, uang US $ 1 juta dolar saja (sekali lagi US $ 1 juta dolar saja), adalah sama dengan biaya pembelian 100.000 ton beras, yang dapat mencukupi kebutuhan 500.000 orang dalam satu tahun. Uang US $ 1 juta dolar dapat digunakan untuk membangun 1.000 ruang kelas yang dapat menampung sebanyak 30.000 siswa, serta dapat dimanfaatkan untuk membangun 40.000 apotik sederhana. (Lihat Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga, h. 8-9). Jadi, sangat besar biaya untuk menjadi wakil rakyat di AS. Lalu, siapa yang menanggungnya? Jelas bukan rakyat dan calon bersangkutan. Para kapitalislah yang membiayai semuanya! Fakta ini sudah terkenal di Amerika.

Apakah seorang kepala negara yang dipilih parlemen benar-benar menyuarakan atau memperhatikan aspirasi rakyat? Ternyata juga tidak. Dalam DSK diuraikan contoh-contoh yang pernah ada dalam sejarah mengenai penguasa yang bertindak sendiri, tanpa persetujuan mayoritas parlemen, seperti Sir Anthony Eden (Inggris), John Foster Dulles (AS), Charles De Gaule (Perancis), dan Raja Hussein (Yordania).

Di samping menyoroti paradoks-paradoks demokrasi seperti itu, DSK juga menyinggung dampak-dampak buruk penerapan demokrasi. Kebebasan hak milik (sebagai prasyarat demokrasi), telah melahirkan kapitalisme yang akhirnya menjadi sarana negara-negara Barat untuk menjajah dan mengeksplotir berbagai bangsa di dunia. Akibat kapitalisme itu terutama adalah semakin memiskinkan negara-negara terjajah dan semakin membuat kaya negara-negara penjajah yang kafir. Banyak data kuantitatif yang membeberkan kenyataan ini. Negara-negara industri yang kaya (seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang) yang hanya mempunyai 26 % penduduk dunia, ternyata menguasai lebih dari 78 % produksi barang dan jasa, 81 % penggunaan energi, 70 % pupuk, dan 87 % persenjataan dunia. (Lihat Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga, h. 8-9). Inilah tragedi akbar terhadap umat manusia akibat demokrasi yang kafir!

Kebebasan bertingkah laku yang dijajakan Barat, ternyata menimbulkan kebejatan moral yang mengerikan di Barat dan juga di negeri-negeri Islam yang mengekor Barat. Mayoritas rakyat AS (sebanyak 93 %) mengakui tidak mempunyai pedoman moral dalam hidupnya. Sekitar 31 % orang masyarakat AS yang telah berumah tangga pernah melakukan hubungan seks dengan pasangan lain. (Jumlah ini kira-kira setara dengan 80 juta orang). Mayoritas orang AS (62 %) menganggap hubungan seks dengan pasangan lain adalah sesuatu yang normal dan tidak bertentangan dengan tradisi atau moral. (Lihat Muhammad bin Saud Al-Basyr, Amerika di Ambang Keruntuhan, h. 13-32). Sungguh, ini menggambarkan betapa buruknya moral para penganut demokrasi!

Ide III : Sebab Diambilnya Demokrasi oleh Umat Islam

DSK pada bagian ini menerangkan mengapa demokrasi yang jelek itu tetap saja laku di kalangan umat Islam. Secara global, Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan ada 2 (dua) sebab, yaitu :

Pertama, serangan kebudayaan (al-ghazwu ats-tsaqofi) yang dilancarkan Barat terhadap negeri-negeri Islam, yang dilancarkan sejak lama bahkan sebelum runtuhnya Khilafah Islamiyah, dan memuncak pada pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah (pada paruh kedua abad XIX M).

Kedua, kelemahan dan kemerosotan taraf berpikir umat yang sangat parah. Kedua faktor ini saling bersinergi secara negatif, sehingga akhirnya umat terpikat dan terkecoh untuk mengambil peradaban Barat.

Dalam serangan kebudayaan, Barat antara lain menempuh cara menjelek-jelekkan Islam dan menerangkan bahwa biang kerok kemerosotan umat Islam adalah hukum-hukum Islam itu sendiri. Selain itu, Barat juga melakukan manipulasi pemikiran dengan menyatakan bahwa demokrasi tidaklah bertentangan dengan Islam dan bahwa justru Barat mengambil demokrasi dari Islam.

Sementara itu, pada saat yang sama kaum muslimin tengah anjlok taraf berpikirnya. Khususnya mengenai sikap yang harus diambil terhadap ide-ide yang berasal dari bangsa dan umat lain. Umat masih bingung dan belum mempunyai standar yang jelas mengenai apa yang boleh diambil dan tidak boleh diambil dari bangsa dan umat yang lain.

Adanya serangan Barat dan kemerosotan taraf berpikir umat inilah yang akhirnya menjerumuskan umat untuk mengambil ide demokrasi Barat yang kafir.

Ide IV : Kaidah Pengambilan Ide dari Umat dan Bangsa Lain

Pada bagian ini, dengan berlandaskan kajian yang komprehensif terhadap nash-nash syara’, penulis DSK menerangkan mana saja hal-hal yang boleh diambil kaum muslimin –dari apa yang dimiliki oleh umat dan bangsa lain– dan mana saja yang tidak boleh mereka ambil.

Standar atau kriterianya adalah sebagai berikut. Seluruh ide yang berhubungan dengan sains, teknologi, penemuan-penemuan ilmiah, dan yang semisalnya, serta segala macam bentuk benda/alat/bangunan yang terlahir dari kemajuan sains dan teknologi (madaniyah), boleh diambil oleh kaum muslimin. Kecuali jika terdapat aspek-aspek tertentu yang menyalahi ajaran Islam, maka kaum muslimin haram untuk mengambilnya, seperti Teori Darwin.

Ini dikarenakan semua pemikiran yang berkaitan dengan sains dan teknologi tidaklah berhubungan dengan Aqidah Islamiyah dan hukum-hukum syara’ yang berkedudukan sebagai solusi terhadap problematika manusia dalam kehidupan, melainkan dapat dikategorikan ke dalam sesuatu yang mubah, yang dapat dimanfaatkan manusia dalam berbagai urusan hidupnya. Dalam hal ini Rasullah SAW bersabda :

أَنْتُمْ أَدْرَى بِشُئُوونِ دُنْيَاكُمْ

“Kalian lebih mengetahui urusan-urusan dunia kalian.” (HSR. Muslim)

Adapun ide-ide yang berkaitan dengan aqidah dan hukum-hukum syara’, serta ide-ide yang yang berhubungan dengan peradaban/kultur Islam (hadlarah), pandangan hidup Islam, dan hukum- hukum yang menjadi solusi bagi seluruh problema manusia, maka semua ide ini wajib disesuaikan dengan ketentuan syara’, dan tidak boleh diambil dari mana pun kecuali hanya dari Syari’at Islam saja. Artinya, hanya diambil dari wahyu yang terkandung dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, dan apa-apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma’ Shahabat dan Qiyas, serta sama sekali tidak boleh diambil dari selain sumber-sumber tersebut. Sebab dalam hal ini Allah SWT telah memerintahkan kita untuk mengambil apa saja yang dibawa oleh Rasul SAW kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dilarang oleh beliau. Allah SWT berfirman :

وَ مَا آتَاكُم الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada kalian maka terimalah/laksanakanlah dia, dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7)

Karena itu, kaum muslimin tidak boleh mengambil peradaban/kultur Barat, beserta segala peraturan dan undang-undang yang terlahir darinya, termasuk demokrasi. Sebab peradaban tersebut bertentangan dengan peradaban Islam.

Ide V : Kontradiksi Demokrasi dengan Islam

Pada ide pokok kelima ini, Syekh Abdul Qadim Zallum menguraikan 5 (lima) segi kontradiksi Islam dengan demokrasi, yaitu :

1. Sumber kemunculan

2. Aqidah

3. Pandangan tentang kedaulatan dan kekuasaan

4. Prinsip Mayoritas

5. Kebebasan

(1). Sumber Kemunculan

Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al haakim) untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia, dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah akal manusia.

Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada rasul-Nya Muhammad bin Abdullah SAW. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :

وَ مَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanya berupa wahyu yang diwahyukan.” (QS. An-Najm : 3-4)

(2). Aqidah

Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen –yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan perisai untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama– dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.

Aqidah ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya sendiri.

Sedangkan Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah –yakni hukum-hukum syara’ yang lahir dari Aqidah Islamiyah– dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia.

(3). Pandangan Tentang Kedaulatan dan Kekuasaan

Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri.

Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan kehendak rakyat dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil rakyat. Kekuasaan juga bersumber dari rakyat, baik kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.

Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah SWT berfirman :

إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al An’aam: 57)

Dalam hal kekuasaan, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.

Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai’at, yang menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda :

مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa mati sedang di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim)

(4). Prinsip Mayoritas

Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinsiannya adalah sebagai berikut :

(1) Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah.

(2) Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.

(3) Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya.

(5). Kebebasan

Dalam demokrasi dikenal ada empat kebebasan, yaitu:

a. Kebebasan beragama (freedom of religion)

b. Kebebasan berpendapat (fredom of speech)

c. Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership)

d. Kebebasan bertingkah laku (personal freedom)

Ini bertentangan dengan Islam, sebab dalam Islam seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam segala perbuatannya. Tidak bisa bebas dan seenaknya. Terikat dengan hukum syara’ bagi seorang muslim adalah wajib dan sekaligus merupakan pertanda adanya iman padanya. Allah SWT berfirman :

فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muham- mad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. An Nisaa’: 65)

Penutup

Setelah menguraikan kontradiksi yang teramat nyata antara demokrasi dengan Islam, pada bagian akhir kitab DSK, Syekh Abdul Qadim Zallum menarik 2 (dua) kesimpulan yang sangat tegas, jelas, dan tanpa tedeng aling-aling. Tujuannya adalah agar umat Islam terhindar dari kekufuran dan kesesatan sistem demokrasi. Dua kesimpulan utama itu sebagai berikut :

Pertama, Demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam itu sesungguhnya adalah sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar dan perinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.

Kedua, Maka dari itu, kaum muslimin haram mengambil dan menyebarluaskan demokrasi serta mendirikan partai-partai politik yang berasaskan demokrasi. Haram pula bagi mereka menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup dan menerapkannya; atau menjadikannya sebagai asas bagi konstitusi dan undang-undang atau sebagai sumber bagi konstitusi dan undang-undang; atau sebagai asas bagi sistem pendidikan dan penentuan tujuannya. Syekh Abdul Qadim Zallum menegaskan, “Kaum muslim wajib membuang demokrasi sejauh-jauhnya karena demokrasi adalah najis dan merupakan hukum thaghut.” [ ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar